Selasa, 03 Juli 2012

KASUS PT FREEPOT

Situasi politik dan keamanan di Papua hingga kini masih  memanas. Diawali dengan aksi penembakan yang terjadi berulang kali terhadap karyawan PT Freeport dan unjuk rasa oleh karyawan yang menuntut kesejahteraan.
Gejolak Papua Freeport bukan kali ini saja terjadi. Selama 44 tahun aktivitas pertambangan PT Freeport Indonesia di Papua telah menorehkan catatan buruk bagi penghormatan hak asasi manusia.
Kejadian berlanjut dengan aksi penembakan yang menimpa Kapolsek Kota Mulia, Ajun Komisaris Dominggus Otto Awes. Kemudian penembakan pos Brimob dan berbagai gejolak lainnya. Hingga saat ini, belum satu pun pelaku pembunuhan yang terungkap identitasnya dengan jelas dan gamblang.
Gejolak Papua (Freeport) bukan kali ini saja terjadi. Selama 44 tahun aktivitas pertambangan PT Freeport Indonesia di Papua telah menorehkan catatan buruk bagi penghormatan hak asasi manusia (HAM) Indonesia di mata internasional. Kerusakan lingkungan, kemiskinan masyarakat lokal, perampokan hak ulayat, kekerasan, dan pembunuhan yang berulang terjadi terhadap manusia Papua di sekitar Freeport telah menjadi keprihatinan komunitas nasional, bahkan internasional.  
Namun, sejauh ini belum ada solusi administratif, sistematis, dan holistik yang dilakukan oleh pemerintah untuk mengatasi permasalahan yang telah berlarut-larut. Bila kita jujur, sesungguhnya akar permasalahan carut-marut Freeport ada pada Kontrak Karya PT Freeport itu sendiri. Wajah kebijakan pertambangan yang rapuh hingga sistem administrasi yang korup.
Kontrak karya, berpihak siapa?
Sejauh ini, PT Freeport Indonesia telah melakukan eksplorasi di dua tempat di Papua, masing-masing tambang Ertsberg (1967 s.d. 1988) dan tambang Grasberg (1988-sekarang), di kawasan Tembagapura, Kabupaten Mimika.
Pada tanggal 5 April 1967, Kontrak Karya (KK) I antara pemerintah Indonesia dan Freeport Sulphur Company, melalui anak perusahannya PT Freeport Indonesia Incorporated (Freeport) ditandatangani. Peristiwa ini menjadi penandatanganan KK Generasi I di Indonesia. Tak hanya itu, KK ini juga menjadi dasar penyusunan Undang-Undang Pertambangan Nomor 11 Tahun 1967 yang disahkan pada bulan Desember 1967, atau delapan bulan berselang setelah penandatanganan KK.
Lahan ekplorasi yang diserahkan pemerintah kepada Freeport mencakup areal seluas 10.908 hektare untuk lama kontrak 30 tahun, terhitung sejak kegiatan komersial pertama dilakukan. Pada bulan Desember 1972, pengapalan 10.000 ton tembaga dari tambang Ertsberg dilakukan untuk kali pertamanya ke Jepang.
Kontrak Karya I mengandung banyak kelemahan mendasar dan sangat merugikan pihak Indonesia. Dalam operasi pertambangan, pemerintah Indonesia tidak mendapatkan manfaat yang proposional dengan potensi ekonomi yang sangat besar di wilayah pertambangan tersebut. Akibat belum adanya ketentuan tentang lingkungan hidup saat itu, sejak dari awal Freeport telah membuang tailing ke Sungai Ajkwa sehingga mengakibatkan kerusakan lingkungan.
Pengaturan perpajakan sama sekali tidak sesuai dengan pengaturan dalam UU Perpajakan yang berlaku, misalnya, Freeport tidak wajib membayar PBB atau PPN. Tidak ada kewajiban bagi Freeport untuk melakukan community development. Akibatnya, keberadaan Freeport di Irian Jaya tidak memberi dampak positif secara langsung terhadap masyarakat setempat.
Freeport juga memperoleh kelonggaran fiskal antara lain, tax holiday selama 3 tahun pertama setelah mulai produksi. Untuk tahun berikutnya selama 7 tahun, Freeport hanya dikenakan pajak sebesar 35%. Setelah itu, pajak yang dikenakan meningkat menjadi sekitar 41,75%.
Kita tidak mempunyai data yang akurat tentang berapa besar produk tambang yang sudah dihasilkan dari tambang Ertsberg. Dalam perencanaan dan kesepakatan awal, tampaknya disetujui bahwa wilayah tambang ini hanya akan memproduksi tembaga, dan ini yang menjadi dasar mengapa pada awalnya lokasi pertambangan dinamakan Tembagapura.
Di samping tembaga, tambang Ertsberg ternyata juga menghasilkan emas. Emas, yang semula dinilai hanyalah by product, belakangan menjadi produk utama Freeport. Hal ini konon disebabkan semakin tingginya konsentrat emas dan perak dalam bahan galian dan dalam deposit yang ditemukan.
Kita tidak terlalu yakin tentang klaim emas adalah by product ini, karena pada saat itu tidak ada orang Indonesia yang mengikuti proses pemurnian konsentrat. Apalagi, pada periode awal penambangan, pemurnian konsentrat dilakukan di luar negeri, baik di Jepang maupun di Amerika. Di samping itu, Freeport pun belum menjadi perusahaan terbuka yang harus menjalankan prinsip good corporate governance. Dengan demikian, bisa saja sejak awal sebenarnya Freeport telah menghasilkan emas dan atau bahkan perak, tetapi hal ini tidak dideklarasikan, atau disengaja disembunyikan dari pemerintah.
Pada tahun 1995, Freeport baru secara resmi mengakui menambang emas di Papua setelah (1973-1994) mengaku hanya sebagai penambang tembaga. Jumlah volume emas yang ditambang selama 21 tahun tersebut tidak pernah diketahui publik, bahkan oleh orang Papua sendiri.
Keuntungan yang sangat besar terus diraih Freeport, hingga Kontrak Karya I diperpanjang menjadi Kontrak Karya II yang tidak direnegosiasi secara optimal. Indonesia ternyata tidak mendapatkan manfaat sebanding dengan keuntungan besar yang diraih Freeport. Ketentuan-ketentuan fiskal dan finansial yang dikenai kepada Freeport ternyata jauh lebih rendah jika dibandingkan dengan yang berlaku negara-negara Asia dan Amerika Latin.
Perpanjangan Kontrak Karya II seharusnya memberi manfaat yang lebih besar karena telah ditemukannya potensi cadangan baru yang sangat besar di Grasberg. Kontrak telah diperpanjang pada tahun 1991, padahal Kontrak Karya I baru berakhir pada tahun 1997.
Kontrak Karya II ini tidak banyak mengalami perbaikan untuk memberikan keuntungan finansial tambahan yang berarti bagi pihak Indonesia. Perubahan yang terjadi hanyalah dalam hal kepemilikan saham dan dalam hal perpajakan. Sementara itu, besarnya royalti tidak mengalami perubahan sama sekali, meskipun telah terjadi perubahan jumlah cadangan emas. Penemuan emas di Grasberg merupakan cadangan emas terbesar di dunia.
Dalam Kontrak Karya II, ketentuan menyangkut royalti atau iuran eksploitasi/produksi (Pasal 13), menjelaskan bahwa sistem royalti dalam kontrak Freeport tidak didasarkan atas persentase dari penerimaan penjualan kotor (gross revenue), tetapi dari persentase penjualan bersih. Penjualan bersih adalah penjualan kotor setelah dikurangi dengan biaya peleburan (smelting), biaya pengolahan (refining), dan biaya-biaya lainnya yang dikeluarkan Freeport dalam penjualan konsentrat. Persentase royalti yang didasarkan atas prosentase penerimaan penjualan bersih juga tergolong sangat kecil, yaitu 1%-3,5% tergantung pada harga konsentrat tembaga, dan 1% flat fixed untuk logam mulia (emas dan perak).
Di dalam kontrak Freeport, besaran iuran tetap untuk wilayah pertambangan yang dibayarkan berkisar antara US$ 0,025-0,05 per hektar per tahun untuk kegiatan Penyelidikan Umum (General Survey), US$ 0,1-0,35 per hektare per tahun untuk kegiatan Studi Kelayakan dan Konstruksi, dan US$ 1,5-3 per hektare per tahun untuk kegiatan operasi eksplotasi/produksi. Tarif iuran tersebut, di seluruh tahapan kegiatan, dapat dikatakan sangat kecil, bahkan sangat sulit diterima akal sehat. Dengan kurs 1 US$ = Rp9.000,00 maka besar iuran Rp225,00 hingga Rp27.000,00 per hektare per tahun.
Menyangkut pengawasan atas kandungan mineral yang dihasilkan, dalam kontrak Freeport tidak ada satu pun yang menyebut secara eksplisit bahwa seluruh operasi dan fasilitas pemurnian dan peleburan harus seluruhnya dilakukan di Indonesia dan dalam pengawasan Pemerintah Indonesia. Pasal 10, poin 4 dan poin 5, memang mengatur tentang operasi dan fasilitas peleburan dan pemurnian tersebut yang secara implisit ditekankan perlunya untuk dilakukan di wilayah Indonesia. Namun, tidak secara tegas dan eksplisit bahwa hal tersebut seluruhnya (100%) harus dilakukan atau berada di Indonesia. Hingga saat ini, hanya 29% saja dari produksi konsentrat yang dimurnikan dan diolah di dalam negeri. Sisanya (71%) dikirim ke luar negeri, di luar pengawasan langsung dari pemerintah Indonesia.
Di dalam Kontrak Freeport, tidak ada satu pasal pun yang secara eksplisit mengatur bahwa pemerintah Indoensia dapat sewaktu-waktu mengakhiri Kontrak Freeport. Pun, jika Freeport dinilai melakukan pelanggaran-pelanggaran atau tidak memenuhi kewajibannya sesuai dengan kontrak. Sebaliknya, pihak Freeport dapat sewaktu-waktu mengakhiri kontrak tersebut jika mereka menilai pengusahaan pertambangan di wilayah kontrak pertambangannya sudah tidak menguntungkan lagi secara ekonomis.
Melalui KK II, wilayah penambangan Freeport saat ini mencakup wilayah seluas 2,6 juta hektare atau sama dengan 6,2% dari luas Irian Jaya. Bandingkan dengan pada awal beroperasinya Freeport yang hanya mendapatkan wilayah konsesi seluas 10.908 hektare.
Indonesia sewajarnya mendapat manfaat yang proposional dari tambang yang dimiliki. Hal ini bisa dicapai jika KK yang ditandatangani antara lain berisi ketentuan-ketentuan yang adil, transparan, dan memihak kepentingan negara dan rakyat. Ternyata pemerintah pada masa lalu, hingga saat, ini tidak mampu mengambil manfaat optimal.
Pihak lain yang menikmati
Pada tahun 1981 Freeport Mineral, Inc. melakukan merger dengan McMoran Oil and Gas, Inc. dan membentuk Freeport Mineral, Inc. Aset utamanya adalah potensi besar tembaga, emas, dan perak yang tersimpan di Gunung Ertsberg.
Pada tahun 1987 Freeport McMoran membentuk anak perusahaan bernama Freeport McMoran Copper Company, Inc. dengan menjual 85,4% dari sahamnya pada PT Freeport Indonesia Inc. Setelah ditemukannya Grasberg, yang menyimpan deposit tembaga nomor 3 terbesar dan tambang emas terbesar di dunia, pada 1988 Freeport McMoran Copper Company, Inc (FCX) mendaftarkan diri ke New York Stock Exchange (NYSE).
Saat itu, Freeport menjual 5.000.000 lembar saham (23,4%) melalui Initial Public Offering (IPO) dan memperoleh sebesar US$ 3,31 miliar. Kemudian pada bulan Januari 1991, anak perusahaan tersebut merubah namanya menjadi Freeport McMoran Copper & Gold Company, Inc.
Rakyat Indonesia harus menyadari pelajaran dan kebodohan dari kasus penjualan saham ini. Sumberdaya alam milik negara dan rakyat Indonesia telah dijual dan digadaikan oleh Freeport kepada para investor di pasar modal, di negeri orang. Dari hasil penjualan itu, Freeport memperoleh modal dan peningkatan value perusahaan yang sangat besar. Karena tidak memiliki saham signifikan dan otomatis tidak ikut mengelola perusahaan, keuntungan peningkatan modal dan value ini tidak turut dinikmati oleh bangsa Indonesia. Rakyat hanya menjadi penonton atas kenikmatan yang diperoleh asing dan perilaku penjajahan ini.
Rapuhnya kebijakan pertambangan yang diterapkan pemerintah kembali terlihat dalam KK V Freeport. Meskipun dalam KK V posisi tawar pemerintah sedikit diuntungkan, hal ini dapat dikatakan sebagai hal yang wajar karena Indonesia adalah pemilik sumberd aya alam mineral tambang yang dikelola Freepot.
Beralihnya KK II menjadi KK V mewajibkan Freeport mengalihkan saham ke pihak nasional Indonesia, dengan ketentuan pengalihan sampai dengan 51 persen saham kepada perusahaan/perorangan nasional dalam waktu 20 tahun. Pemerintah Indonesia sebelumnya telah mendapat 8,5 persen dari saham Freeport pada tahun 1976 dan menjadi 10 persen hingga 1998. KK V juga menentukan, lima tahun setelah penandatanganan kontrak Freeport 20 persen sahamnya sudah harus dimiliki oleh pihak nasional Indonesia.
Ketentuan divestasi saham kepada pemerintah secara umum berlaku untuk semua perusahaan yang menandatangani KK Generasi V. Namun, pada saat itu, umumnya perusahaan yang menandatangani KK Generasi V masih berada dalam tahap penyelidikan umum atau eksplorasi, kecuali Freeport yang sudah berada dalam tahap produksi.
Saham Freeport yang harus dialihkan dalam waktu 5 tahun pertama adalah sebesar 10 persen. Karena dalam kurun waktu lima tahun setelah KK ditandatangani Freeport telah merencanakan akan melakukan investasi besar-besaran di Grasberg, pihak perusahaan pertambangan ini berharap bahwa ketentuan divestasi dalam KK Generasi V dapat diperingan, khusus bagi Freeport. Freeport berhasil. pemerintah kemudian mengeluarkan PP Nomor 20 Tahun 1994 tentang Pemilikan Saham dalam Perusahaan yang Didirikan dalam Rangka Penanaman Modal Asing yang mengizinkan investasi asing secara penuh (100%). Peraturan Pemerintah ini dikeluarkan pada tahun 1994, sedangkan KK V dengan Freeport ditandatangani pada bulan Desember 1991, atau 3 tahun sebelum PP No.20 dikeluarkan. Dengan PP No.20 ini pula, kesempatan pemerintah untuk ikut memiliki saham mayoritas di Freeport menjadi hilang.
Lebih lanjut, kita mencatat bagaimana pemerintah telah bertindak merugikan negara dengan sengaja tidak memanfaatkan kesempatan membeli 10% saham, yang merupakan kelanjutan program divestasi 20% saham Freeport. Pemerintah justru memberikan kesempatan itu kepada Grup Bakrie. Ketika itu, Menteri Keuangan hanya menyetujui peningkatan pemilikan saham Indonesia dari 9 persen menjadi 10 persen. Menteri Keuangan dengan sengaja tidak menghendaki saham pemerintah lebih dari 10 persen. Karena itu, kemudian Freeport menjual sahamnya kepada grup Bakrie. Masalah pembelian saham oleh Bakrie Brothers ini mendapat sorotan dari berbagai kalangan, antara lain dari Kejaksaan Agung.

HAK MERK

SENGKETA MERK: EXTRA JOSS VERSUS ENERJOS
AM. Laot Kian

I. Pokok Sengketa
            Kamis, 19 Mei 2005, Pengadilan Niaga Jakarta yang diketuai Edy Cahyono mengabulkan permohonan pembatalan Merek Enerjos milik PT. Sayap Mas Utama, yang dimohonkan oleh pemilik Merek Extra Joss, PT. Bintang Toedjoe. Sebagaimana diberitakan, PT. Bintang Toedjoe mengajukan gugatan terhadap PT. Sayap Mas Utama yang memiliki Merek Enerjos. PT. Bintang Toedjoe menuding pihak PT. Sayap Mas Utama mendompleng ketenaran Merek Extra Joss yang terdaftar sebagai Merek Terkenal pada Direktorat Jenderal Hak atas Kekayaan Intelektual (H.K.I.) Depkum HAM. Menurut PT. Bintang Toedjoe, ada kesan di masyarakat bahwa minuman kesehatan Enerjos adalah varian dari Extra Joss. Persepsi inilah yang dinilai telah merugikan pihak PT. Bintang Toedjoe. Akhirnya, PT. Bintang Toedjoe mengajukan gugatan dengan mengacu pada ketentuan Pasal 4 dan Pasal 6 ayat (1) Undang Undang Nomor 15 Tahun 2001 tentang Merek. Bahkan sebenarnya sebelum pengajuan gugatan pun, pihak PT. Bintang Toedjoe pernah mengajukan oposisi terhadap Merek Enerjos, yaitu ketika masih berada dalam proses pendaftaran di Dirjen H.K.I. Namun ketika itu, Dirjen H.K.I. menolak dan tetap meloloskan Merek Enerjos.
Pihak PT. Sayap Mas Utama selaku tergugat tidak tinggal diam. Perusahaan ini mengajukan kasasi ke Mahkamah Agung (MA). Dan hasilnya, oleh MA, PT. Sayap Mas Utama dinyatakan berhak menggunakan nama pemegang Sertifikat Merek Enerjos, dan bahkan pihak PT. Bintang Toedjoe dituntut membayar biaya perkara sebesar Rp. 5.000.000,-. Lantaran putusan MA yang dianggap kontroversial inilah maka PT. Bintang Toedjoe mengancam memindahkan pabriknya ke luar negeri. PT. Bintang Toedjoe menganggap pemerintah mengabaikan perlindungan hukum terhadap produk andalannya, Extra Joss. Bahkan pihak PT. Bintang Toedjoe tengah mengkaji kemungkinan merelokasi pabriknya yang kini berlokasi di kawasan industri Pulo Gadung, Jakarta, ke Filipina atau Vietnam.
Terhadap putusan MA, pihak PT. Bintang Toedjoe sebagai produsen Extra Joss telah mengajukan Peninjauan Kembali (PK) atas keputusan Majelis Hakim Agung pada tingkat kasasi yang memenangkan PT. Sayap Mas Utama sebagai produsen Enerjos. Kuasa hukum PT. Bintang Toedjoe, Justisiari Perdana Kusumah dari Soemadipradja & Taher di Jakarta, mengatakan bahwa pengajuan PK dilakukan, karena telah ditemukannya bukti baru (novum) yakni adanya biaya promosi yang dilakukan PT. Bintang Toedjoe sejak tahun 1997—2000. Selain itu, kuasa hukum PT. Bintang Toedjoe mengatakan bahwa Majelis Hakim Agung MA telah melakukan kesalahan pada tingkat kasasi dalam memutuskan perkara, yakni dan terjadinya kesalahan yang dilakukan majelis hakim di tingkat kasasi dalam memutuskan perkara, yakni mengenai penilaian tentang Merek Terkenal (well known marks).
Pada titik ini dapat dikatakan bahwa pokok sengketa antara kedua perusahaan tersebut dalam kaitan dengan Merek Extra Joss dan Enerjos ialah sebagai berikut. Pertama, adanya kemiripan nama dari kedua Merek tersebut, terutama dalam hal pengucapan (dengan tekanan pada kata “jos”), padahal kedua jenis barang tersebut berada dalam kelas barang yang sama. Kedua, adanya tudingan bahwa PT. Sayap Mas Utama mendompleng ketenaran Merek Extra Joss yang terdaftar sebagai Merek Terkenal pada Direktorat Jenderal Hak atas Kekayaan Intelektual (H.K.I.) Depkum HAM oleh pihak PT. Bintang Toedjoe. Ketiga, munculnya Merek Enerjos telah menimbulkan kesan di masyarakat bahwa minuman kesehatan Enerjos adalah varian dari Extra Joss; dan persepsi ini dinilai telah merugikan pihak PT. Bintang Toedjoe.

II. Analisis Kasus Extra Joss versus Enerjos
2.1 Perbandingan Gambar Merek

            Dari perbandingan gambar diketahui bahwa di satu pihak secara visual, terdapat sedikit kesamaan antara kedua Merek tersebut, yaitu dalam hal warna kuning yang menjadi latar belakang Merek. Namun di pihak lain, secara visual pula diketahui bahwa tidak terdapat persamaan tulisan antara Extra Joss dan Enerjos; juga tidak terdapat persamaan dalam hal kemasan.
2.2 Antara ”Joss” dan ”jos”
Sebagaimana yang dijelaskan sebelumnya, pokok sengketa pertama antara PT. Bintang Toedjoe dan PT. Sayap Mas Utama berhubungan dengan Merek Extra Joss dan Enerjos ialah adanya kemiripan nama dari kedua Merek tersebut, terutama dalam hal pengucapan dengan tekanan pada kata “jos”, padahal kedua jenis barang tersebut berada dalam kelas barang yang sama. Tentang pokok sengketa pertama ini dapat dianalisis dengan Undang Undang Nomor 15 Tahun 2001 tentang Merek.
Pasal 6 ayat (1) Undang Undang Nomor 15 Tahun 2001 tentang Merek menyebutkan bahwa permohonan (pendaftaran Merek) harus ditolak oleh Direktorat Jenderal apabila Merek tersebut (a) mempunyai persamaan pada pokoknya atau keseluruhannya dengan Merek milik pihak lain yang sudah terdaftar lebih dahulu untuk barang dan/atau jasa yang sejenis; dan (b) mempunyai persamaan pada pokoknya atau keseluruhannya dengan Merek yang sudah terkenal milik pihak lain untuk barang dan/atau sejenisnya. Selanjutnya, bagian Penjelasan Pasal demi Pasal dari Undang Undang tersebut menegaskan bahwa yang dimaksud dengan persamaan pada pokoknya (huruf a) adalah kemiripan yang disebabkan oleh adanya unsur-unsur yang menonjol antara Merek yang satu dengan Merek yang lain, yang dapat menimbulkan kesan adanya persamaan baik mengenai bentuk, cara penetapan, cara penulisan atau kombinasi antara unsur-unsur ataupun persamaan bunyi ucapan yang terdapat dalam merek-merek tersebut.
Jika dikaji dari kacamata Pasal 6 ayat (1) huruf a Undang Undang Nomor 15 Tahun 2001 tentang Merek, maka dapat dikatakan bahwa Merek Extra Joss dan Enerjos memiliki persamaan bunyi ucapan (kata ”jos”). Padahal, secara konstitutif, pihak PT. Bintang Toedjoe-lah yang lebih dahulu mendaftarkan nama Extra Joss sebagai Merek Dagang-nya. Itu berarti, pendaftaran Merek Enerjos harus ditolak.
Dari segi bahasa, ada kemiripan antara Enerjos dan Extra Joss. Menurut Prof. Dr. Anton M. Moeliono, seorang ahli bahasa, sebuah kata baru yang menjadi populer merupakan hasil sebuah kreativitas. Tentang hal ini ia menegaskan bahwa Enerjos merupakan bentuk analogi dari Merek yang sebelumnya sudah ada, yaitu Extra Jos. Karena memiliki kemiripan visual, persamaan bunyi ucapan, dan kategori produk di kelas yang sama, maka konsumen dapat terkecoh dan menganggap Enerjos diproduksi oleh produsen yang sama dengan produsen Extra Jos.
Analisis lain yang dapat disebutkan di sini ialah bahwa kata ”Joss” adalah kata yang ditemukan, diperkenalkan, dan digunakan sebagai Merek pertama kali oleh PT. Bintang Toedjoe. Jika kita telaah lebih dalam, kata ”Joss” hampir dipastikan tidak pernah digunakan secara umum dalam percakapan baik formal di Indonesia ataupun di dunia. Bahkan kata ”Joss” tidak terdapat dalam kamus-kamus yang berlaku umum, yang menjadi acuan dalam mencari padanan sebuah kata. Itu berarti, kata ”Joss” merupakan kata bentukan PT. Bintang Toedjoe, dan dengan demikian memberikan nuansa distinktif dengan Merek lainnya. Beda halnya dengan kata ”Extra” yang hampir semua kalangan mengetahui artinya secara persis dan tepat, bahkan sering dipergunakan dalam percakapan formal maupun formal. Jadi semua produk bebas menggunakan kata tersebut. Dan jika dipandang dari sisi Enerjos, apakah Enerjos sendiri mampu membentuk secondary meaning?
Dalam konteks ini, sebuah kritik dapat diungkapkan di sini: dalam wacana dan kriteria apa sebuah kata dapat dijadikan sebagai Merek. Atau dengan kata lain, dalam peraturan mana ditentukan bahwa sebuah kata yang merupakan kata bentukan/temuan haruslah sebuah kata yang tidak ditemukan dalam kamus resmi? Lantas bagaimana dengan kata-kata populer atau yang cenderung bersifat ”pasaran”, yang nota bene telah menjadi semacam kebiasaan dalam pengucapan, namun tidak terdapat dalam kamus-kamus resmi? Undang Undang Merek belum mengatur hal ini.
2.3 Extra Joss: Merek Terkenal?
            Ketentuan Pasal 16 ayat (2) dan ayat (3) TRIPs mengatur tentang Merek Terkenal. Pasal 16 ayat (3) tersebut menyatakan bahwa Pasal 6 bis Konvensi Paris tentang Perlindungan Hak Kekayaan Industrial harus berlaku mutatis mutandis pada barang dan jasa yang tidak serupa dengan barang dan jasa di mana suatu Merek telah didaftarkan. Ketentuan Pasal tersebut mensyaratkan bahwa penggunaan Merek sehubungan dengan barang dan jasa tersebut akan mengindikasikan suatu hubungan antara barang/jasa dan pemilik Merek, serta dengan ketentuan bahwa kepentingan pemilik Merek terdaftar akan dirugikan oleh penggunaan tersebut.
            Tentang Merek Terkenal (well-known marks) ini, WIPO (World Intellectual Property Organization) menyebutkan beberapa patokan untuk menilai terkenal atau tidaknya sebuah Merek. Beberapa guidelines tersebut ialah, (1) tingkat pengetahuan atau pengakuan mengenai Merek tersebut dalam sektor publik yang bersangkutan, (2) masa, jangkauan, dan daerah geografis dari penggunaan Merek, (3) masa, jangkauan, dan daerah geografis dari promosi Merek, termasuk periklanan dan publisitas serta presentasi pada pameran dari barang-barang atau jasa Merek tersebut, (4) masa dan daerah geografis dari setiap pendaftaran sampai pada satu tingkat sehingga merefleksikan penggunaan atau pengakuan Merek, (5) catatan dari penegakan hukum yang berhasil atas hak yang melekat pada Merek sampai pada satu tingkat di mana Merek tersebut diakui sebagai Merek Terkenal oleh pejabat yang berwenang, dan (6) nilai yang berkaitan dengan Merek tersebut.
            Jika dikaitkan dengan guidelines tersebut, maka dapat dikatakan bahwa Merek Extra Joss adalah Merek Terkenal. Mengapa? Dalam sektor publik, masyarakat luas telah secara definitif mengenal Merek ini sebagai minuman penambah stamina tubuh. Itu berarti, secara geografis, penggunaan Merek Extra Joss telah merambah ke mana-mana. Kategori geografis ini diperkuat dengan eksisnya Extra Joss sejak didaftarkan (1997) hingga kini. Dan lebih lanjut, promosi, periklanan, dan publikasi Merek Extra Joss yang melibatkan juga maestro sepak bola dunia asal Italia, Alexandro Del Piero, hingga didaftarkan di 15 negara, membuktikan bahwa Extra Joss dapat dikategorikan sebagai well-known marks.
Penjelasan di atas diperkuat dengan penjelasan Pasal 6 ayat (1) Undang Undnag Nomor 15 Tahun 2001 tentang Merek, huruf (b) menegaskan bahwa penolakan permohonan (pendaftaran Merek) yang mempunyai persamaan pada pokoknya atau keseluruhan dengan Merek terkenal untuk barang dan/atau jasa yang sejenis dilakukan dengan memperhatikan pengetahuan umum masyarakat mengenai Merek tersebut di bidang usaha yang bersangkutan. Di samping itu diperhatikan pula reputasi Merek Terkenal yang diperoleh karena promosi yang gencar dan besar-besaran, investasi di beberapa negara di dunia yang dilakukan oleh pemiliknya dan disertai bukti pendaftaran Merek tersebut di beberapa negara. Apabila hal-hal di atas belum dianggap cukup, Pengadilan Niaga dapat memerintahkan lembaga yang bersifat mandiri untuk melakukan survei guna memperoleh kesimpulan mengenai terkenal atau tidaknya Merek yang menjadi dasar penolakan. Paradigma di atas tentu saja harus menjadi pendasaran bagi Dirjen H.K.I. untuk menerima atau menolak permohonan Merek Enerjos oleh PT. Sayap Mas Utama. Bukankah promosi yang gencar dan terbilang besar-besaran atas Merek Extra Joss sejak tahun 1997 hingga kini telah dilakukan oleh PT. Bintang Toedjoe bahkan hingga keluar negeri?
Namun demikian, sebuah pertanyaan kritis dapat diajukan di sini: sejauh mana survei atau penelitian dilakukan terhadap sifat well-known dari Extra Joss, meskipun telah didaftarkan di 15 negara? Dengan kata lain, kriteria ”terkenal” masih harus menjadi wacana terbuka untuk diperdebatkan. Dengan cara ini pula, tuntutan akan sebuah Peraturan Pemerintah yang menjabarkan kriteria sifat well-known dari sebuah Merek menjadi mutlak perlu.
Seluruh penjelasan di atas sebenarnya mau memberikan tanggapan atas pokok sengketa lainnya, yaitu tentang adanya tudingan bahwa PT. Sayap Mas Utama mendompleng ketenaran Merek Extra Joss yang terdaftar sebagai Merek Terkenal pada Direktorat Jenderal Hak atas Kekayaan Intelektual (H.K.I.) Depkum HAM oleh pihak PT. Bintang Toedjoe. Secara singkat dapat dibaca adanya indikasi dilution theory atau pencemaran Merek Terkenal yang mencemarkan nilai eksklusif dari Merek, atau menodai daya tarik Merek Terkenal tersebut. Pada titik ini, ketakutan PT. Bintang Toedjoe akan munculnya estimasi dan keraguan konsumen harus menjadi pertimbangan bagi pengadilan.
2.4 Menurut Sistem Konstitutif
Undang Undang Nomor 15 Tahun 2001 tentang Merek sebenarnya mengandung penggunaan Sistem Konstitutif. Sistem Konstitutif atau Constitutive System menekankan bahwa pihak yang mendaftarkan pertama kali-lah yang berhak atas Merek, dan pihak itulah yang secara eksklusif dapat memakai Merek tersebut. Dalam alur pikir ini, prinsip ”pendaftar pertama” atau the first to file dan doktrin ”yang utama pendaftar pertama” atau ”prior in filling” atau ”prior in tempore, mellor in jure”. Berdasarkan sistem konstitutif ini, maka dalam konteks sengketa Merek ini, Extra Joss menjadi Merek yang diterima, karena didaftarkan pertama kali oleh PT. Bintang Toedjoe, yaitu pada tahun 1997; sedangkan Merek Enerjos baru didaftarkan pada tahun 2000.
Dekat dengan sistem konstitutif ialah pendaftaran Merek dengan itikad baik. Pasal 4 Undang Undang Nomor 15 Tahun 2001 tentang Merek menyebutkan bahwa Merek tidak dapat didaftar atas dasar Permohonan yang diajukan oleh Pemohon yang beritikad tidak baik. Pada titik ini, isu ”mendompleng” dari Enerjos terhadap Extra Joss dapat ditinjau melalui ada atau tidak adanya itikad tidak baik dalam pendaftaran Enerjos. Hal ini penting agar asumsi tentang munculnya Merek Enerjos yang dikatakan telah menimbulkan kesan di masyarakat sebagai minuman varian dari Extra Joss, dapat dibuktikan.

SENGKETA TARI PENDET

Menteri Kebudayaan dan Pariwisata (Menbudpar), Jero Wacik, mengatakan, pihaknya telah menerima permintaan maaf dari Menteri Pelancongan Malaysia soal Tari Pendet.
“Menteri Pelancongan Malaysia menelepon saya untuk minta maaf soal Tari Pendet,” kata Jero Wacik di Jakarta, Kamis (27/8).
Ia mengatakan, permintaan maaf terkait penggunaan Tari Pendet dalam iklan promo pariwisata di televisi pada program Discovery Channel berjudul Enigmatic Malaysia tanpa seizin resmi pemerintah Indonesia memang baru disampaikan secara lisan.
Namun, Jero menegaskan, pihaknya masih menunggu jawaban resmi dari Pemerintah Malaysia atas surat nota protes yang disampaikan kemarin. “Kami masih tetap menanti jawaban resmi dari pemerintah Malaysia,” katanya.
Menteri memperkirakan surat nota protes soal Pendet sudah diterima Pemerintah Malaysia sehingga diharapkan pekan depan sudah ada jawaban resmi.
Dalam pembicaraan lisan melalui sambungan telepon internasional, Jero menjelaskan, Pemerintah Malaysia mengatakan, iklan wisata bermuatan Tari Pendet bukan dibuat oleh Pemerintah Malaysia melainkan pihak swasta; sebuah rumah produksi.
“Rumah produksi yang membuat iklan itu juga sudah mengirimkan e-mail untuk meminta maaf pada Pemerintah Indonesia melalui saya,” katanya.
Namun, Jero menegaskan permintaan maaf hendaknya disampaikan secara resmi dan bukan melalui e-mail. “Saya tetap masih menunggu jawaban resmi nota protes yang saya kirim,” katanya.
Pada kesempatan itu, ia juga menyampaikan terima kasih kepada pers yang telah menaruh perhatian besar soal produk budaya Indonesia khususnya Tari Pendet. Menurut dia, maraknya media mempublikasikan isu klaim Tari Pendet oleh Malaysia menunjukkan kecintaan pers terhadap pariwisata dan budaya Indonesia. “Terima kasih rekan wartawan, dua pekan ini saya juga jadi beken,” demikian Jero Wacik.
“Iklan Tari Pendet” Malah Kian Populerkan Bali
Kontroversi iklan promosi pariwisata Malaysia yang menampilkan tari Pendet diyakini Pengamat Pariwisata Bali, Dr.I Nyoman Darma Putra, justru semakin melambungkan nama pulau wisata ternama Indonesia itu di mata wisatawan dan pelaku industri pariwisata dunia.
“Di balik kasus ini, saya yakin nama Bali akan semakin melambung di kalangan wisatawan dan pelaku wisata dunia,” katanya di Brisbane, Kamis, menanggapi kasus iklan kontroversial pariwisata Malaysia yang tanpa seizin pemerintah RI menampilkan tari pendet dari Bali.
Darma Putra mengatakan, pihak-pihak yang bertanggung jawab terhadap pembuatan iklan promosi berjudul “Enigmatic Malaysia” itu tidak etis memasukkan materi budaya Bali bagi kepentingan promosi pariwisata Malaysia.
“Kalau materi budaya Bali digunakan untuk mendukung promosi pariwisata Bali, kita sangat berterima kasih. Dalam kasus ini, sikap pemerintah Malaysia yang sebatas menyalahkan pihak swasta yang memproduksi materi promosi pariwisata negaranya sangat disayangkan,” katanya.
Penulis buku Bali dalam Kuasa Politik (2008) ini mengatakan, pemerintah Malaysia sudah seharusnya dapat menjamin bahwa kasus pemanfaatan dan pengklaiman kekayaan budaya Indonesia oleh Malaysia seperti yang terjadi dalam beberapa tahun terakhir ini tidak terulang lagi di masa mendatang.
Pemerintah Malaysia juga sepatutnya memberi sanksi kepada pihak pembuat materi promosi pariwisatanya itu, katanya.
Kasus iklan komersial yang sempat ditayangkan jaringan TV Discovery yang diprotes Menteri Kebudayaan dan Pariwisata (Menbudpar) Jero Wacik itu tidak hanya mengundang perhatian beragam kalangan di Indonesia tetapi juga menarik perhatian media utama di Australia.
Surat kabar berpengaruh The Australian misalnya menyoroti kasus ini lewat salah satu berita edisi 26 Agustus di bawah judul “Malaysia ’steals’ Bali dance” (Malaysia ’Mencuri’ Tari Bali).
Berita Harian The Australian melalui korespondennya di Jakarta, Stephen Fitzpatrick, itu menyoroti perkembangan di seputar kontroversi pemakaian tari Pendet dalam kasus iklan kontroversial pariwisata Malaysia dan reaksi publik Indonesia dalam konteks hubungan kedua negara bertetangga ini.
Kontroversi yang mewarnai hubungan kedua negara yang dipicu oleh kasus pengklaiman kekayaan warisan seni budaya Indonesia oleh Malaysia itu sudah terjadi sejak kasus lagu asal Maluku, Rasa Sayange tahun 2007 serta pengklaiman desain Batik, Angklung dan Reog, tarian asli rakyat Jawa Timur.